Cerita ini merupakan cerita nyata yang dilebay-lebaykan dan menjijikan. Antara judul dan cerita pun menggambarkan ke complicated-an cerita dongeng ini aka gak nyambung. Semua karakter yang ada bukanlah fiksi semata tetapi penuh dengan intrik (halah apasih). Cocok untuk anak kecil autis yang idiot.

Dahulu kala waktu masih ngekos di cisitu Bandung. Hidupku sangatlah bahagia, tentram, dan senang atau biasa disebut happly before disaster. Aku selalu keluar dengan wajah cerah, mata berbinar-binar dan menggunakan kerudung merah membawa bekal untuk nenek. Tetapi kebahagian itu tidak berjalan lama. Hari kesepuluh dari awal mula kebahagaianku tiba-tiba aku melihat tanda-tanda awan menghitam menutupi cahaya matahari tetapi hujan tak kunjung turun juga seharian. Keesok harinya, matahari dengan begitu cerahnya menghiasi hari-hariku. Malam harinya pun cerah banget, bintang-bintang menghiasi etalase langit. Uhrg, aku bias tidur sambil lihat bintang pikirku. Saat lagi menikmati ‘bintang dilangit kelip engkau disana menghiasi hidupku’(buset dah panjang amat namanya), tiba terdengar suara kencang menggelegar. Kira-kira lebih dari 2 sumber suara dan seperti mengucapkan sesuatu kata yang aku gak ngerti. Aku mencari sumber suara. Kuintip keluar jendela yang kebetulan disamping kasur ku. Karena aku berada di lantai dua jadi sekali melongo keluar aku bisa melihat cukup banyak. Hmm, ternyata sumbernya bukan setan atau mahluk halus lainnya, tetapi sekumpulan anak beralmamater satu propinsi dengan menggunankan logat, bahasa, dan cara berkomunikasi yang sejenis. Usut punya usut, ternyata mereka berasal dari propinsi S****** dan menggunakan bahasa P***** yang ternyata logatnya sangat menggelegar dan dahsyat dan bisa membuat setengah cisitu berguncang (Untuk keamanan penulis propinsi dan suku bahasa tidak diperjelas). Uh, gondok mantap jiwaku bergetar. Hari demi hari kulalui dengan kebisingan. Aku curhat sana sini tentang problemku. Aku curhat tentang para kumpulan ituh. Ke Ade, ke Nur, yah pokoknya sahabat-sahabatku. Umpatan demi umpatan kesebut dalam hati kecil ku. Dan akhirnya aku pindah ke Jatinangor. Tepatnya di Ciseke.

Entah apa yang membuatku seperti menerima karma atau apa. Kupikir tadinya setelah pindah ke Jatinangor, aku akan menjauhi pendengeran ku dari bahasa P*****. Ternyata dugaanku meleset jauh. Tadinya juga aku mikir kalau aku bakal kembali disuguhi teman-teman dengan bahasa Sunda dan ternyata juga sangat meleset. Aku mendapatkan teman yang berbahasa P***** sebagian besar dan kalo mereka dah ngobrol antar sesama suku, seolah kepalaku memusing sekali, roaming-roaming yang menabrak setiap sel otakku membuatku teringat dengan Cisitu. Oh Em Ji, kanapa Balikpapan gak punya bahasa daerah, jadi pingin unjuk gigi didepan semua orang dan kenapa aku harus mendapat teman yang sebagian besar bahasanya P*****. Tapi gak papa sih, akhirnya aku bisa mengerti itu namanya berkah, setidaknya aku punya teman lagi. Akhirnya aku terbang kelangit dengan menggunakan sayap-sayap peri itu dan bubuk flo berjatuhan dari sayapku dengan tenang dan kisahanya berakhir dengan Happily Ever After.

0 comments:

Newer Post Older Post Home